“Hujan?
Kaukah yang datang? Kabar apalagi yang akan kau sampaikan padaku yang kesepian
ini?” terawang sesosok remaja wanita melambung ke angkasa.
“Dewi?
Cepat masuk, diluar hujan!” kata seorang wanita muda lainnya.
Dewi hanya menurut dan pergi meninggalkan halaman
rumahnya itu. Lusa ia akan pindah ke Bali, tanah kelahirannnya. Bukannya ia
tidak ingin, tapi terlalu banyak kenangan yang ia torehkan di kota kembang ini.
Terutama mendiang ibunya yang terkubur tenang di tanah Sunda, menyisakan banyak
peluh dan asa yang terkubur bersama jasad ibunya. Mungkin kini jasadnya sudah
menjadi tulang belulang. Hanya hujan yang selalu menemani tawa ringannya dikala
ia datang menjenguk sang ibu.
Sepuluh tahun silam keluarga Dewi
pindah ke Bandung dan memutuskan untuk menetap disini. Tak lama sebuah masalah
melanda keluarganya. Bisnis ibunya bangkrut dan ia harus merelakan ibunya
bercerai. Keluarganya semakin berantakan tak kala ayah Dewi menikah lagi, menambah
sakit hati Dewi pada sang ayah. Dewi bukanlah anak yang penurut, ia di didik
keras oleh ayahnya. Dewi bukanlah sosok pendendam seperti sekarang. Ini adalah
hidupnya.
Berantakan, satu kata yang mewakili hidupnya. Bahkan
ayanhnya pun nampak tak peduli lagi padanya, susah payah ia membujuk sang ayah
agar tidak pindah kembali ke Bali. Nihil, hanya sebuah seringaian yang
terlontar dari bibir ayahnya. Malaikatpun seakan tak menyampaikan pesannya pada
Tuhan. Menyampaikan salam perpisahan terakhir bagi ibunya tercinta.
Tak akan ada yang mengantarkannya pergi, tak ada
tangis haru perpisahan baginya. Hidupnya hanyalah sebuah kehampaan dan
kesendirian. Hanya hujan yang menuntunnya memasuki pesawat pribadi milik keluarganya.
Bukan masalah harta yang ia ingikan, tapi rasa sayang dan kasih dari kedua
orang tuanya. Walaupun Mala bukanlah ibu kandungnya, tapi tak bisa dipungkiri
bahwa Dewi juga haus akan kasih sayang seorang ibu.
Inilah
kenyataannya, aku hanyalah seorang wanita yang merasa hampa
Dewi Andini
Aku di lahirkan di Bali 24 April 1982, aku hanyalah
seorang anak tunggal dari pasangan Mark Susanto dan Rindu Dwi Ayu. Ayahku
adalah seseorang yang berdarah Bali-Inggris dan ibuku tulen berdarah Sunda. Ibu
dan Ayahku menikah di Bali dan melanjutkan kehidupannya di Bandung dua tahun
setelah aku lahir. Tuhan selalu memberkati kami selama kami tinggal di Bali.
Tapi begitu kami pindah ke Bandung semuanya berubah total, dikatakan 180
derajatpun lebih. Keluarga kami mengalami kehancuran. Setelah ayah yang harus
pulang pergi Bandung-Bali selama 2 tahun membuat keluarga kami merenggang. Ayah
selalu membawa rekan kerja wanitanya yang tak lain adalah sekertarisnya
sendiri. Aku muak meliahat ayah yang selalu bertengkar dengan ibu karena wanita
itu. Mala namanya.
Semenjak itu ibu selalu pulang larut malam dan tidak
memperhatikan aku lagi. Hanya tinggal aku sendiri yang tersisa disini. Bahkan
mereka tidak tahu aku mengidap penyakit SARS, penyakit yang masih bersaudara dengan
pnemonia ini menggerogoti tubuh mungil ini sejak usiaku
15 tahun. Penyakit ini terus menyebar pada sistem pernafasanku, walaupun
kemungkinan untuk meninggal hanya 10% tapi mungkin aku adalah salah satunya. Hidup kadang
tidak bisa di mengerti. Saat hidup berpihak padaku kami hidup layaknya keluarga
bahagia yang sangat harmonis, tapi saat hidup tidak berpihak padaku semuanya
berantakan dan kacau balau seperti sekarang ini.
Karena itulah kekeluargaan kami menjadi sangat renggang.
Ayah dan ibu selalu bertengkar dihadapanku, mereka selalu mempermasalahkan hal
yang sama. Aku masih mengingat beberapa lantunan kata-kata kasar yang mereka
ucapkan di depanku.
“kau itu seorang istri!
Harusnya kau bisa mengurus anak dan keluarga dengan baik, bukannya malah
keluyuran seperti ini!” bentak ayah pada ibu.
“lalu kau sendiri, hah?
Kau bahkan tak pernah punya waktu untuk Dewi! Hanya sibuk mencari uang!” teriak
ibu tak kalah emosi.
“apa kau bilang?
Seharusnya kau yang sadar posisi! Untuk apa seorang ibu rumah tangga pergi
bekerja dan pulang larut? Apa kau punya selingkuhan lain diluar sana, hah? ”
Aku tak percaya apa yang dikatakan ayah, itu sagat menyakiti
ibu. Bukankah yang terjadi malah sebaliknya? Ayah berdusta! Ayah hanya takut,
pada kenyataannya ayahlah yamg memutar balikan fakta. Pertengkaran mereka tak
berhenti sampai disitu, ku fikir setelah hari ini berganti mereka akan kembali
rukun. Tapi apa yang terrjadi malah di luar dugaanku, pertengkaran yang lebih
hebat terjadi lagi. Belum sempat matahari terbit mereka sudah bertengkar lagi.
“sepertinya benar kau
punya selingkuhan lain diluar sana!” sindir ayah pada ibu.
“apalagi yang kau
inginkan? Bukannya engkau yang membalikan fakta. Membawa seorang wanita
seenaknya ke dalam rumah, kau tidak kasihan melihat Dewi?” ibu menanggapinya
dengan tenang, tapi sebenarnya aku tahu kalau ibu sangat takut. Akupun hanya
mampu bersembunyi di balik tembok.
“kau selalu saja
mengaitkan masalah kita dengan Dewi. Kalau kau ingin membawa Dewi pergi, bawa
saja dia pergi. Dia hanya menyusahkan di sini! Dasar anak manja”
Perkataan ayah membuat hatiku terohok. Bagaimana mungkin
ayah bisa bilang hal seperti itu padaku. Aku yang tadinya hanya bersembunyi di
balik tembok lebih memilih keluar. Untuk anak berusia 12 tahun sepertiku apa
yang aku tahu dulu? Aku hanya bisa bicara dengan kepala menunduk.
“ayah? ”
Sontak setelah kata itu
terucap ayah dan ibu menengok padaku. Bak malaikat yang tak berdosa ibu
memelukku dan ayahpun sama. Tapi banyak tersirat kebohongan yang bisa ku lihat
dari mata ayah. Bukan pelukan kasih sayang.
“Dewi sudah bangun
sayang? Inikan masih pagi sekali” ibu berkata sangat lembut seakan tidak
terjadi apa-apa.
“ibu mau kemana? Kenapa
jam segini ibu sudah rapih? Ibu mau pergi lagi ya seperti minggu lalu?
”tidak sayang, ibu
hanya akan mememui relasi ibu dan akan pulang saat siang hari. Ibu juga janji
akan mengajak Dewi ke taman hiburan hari ini, Dewi maukan bermain dengan ibu?”
“tapi ayah juga ikutkan,
bu?” tanyaku polos
“tidak bisa sayang,
ayah ada pekerjaan di kantornya. Dewi mainnya bersama ibu saja ya?” bujuk ibu
padaku.
“yah ayah tidak bisa
ikut, apa ayah akan bekerja dengan bibi yang kemarin itu, bu ?”
Pertanyaku
membuat ayah dan ibu tercengang. Ayahpun hanya diam tak menanggapi perkataanku.
Padahal aku sengaja memancingnya untuk bicara. Untuk bocah berumur 12 tahun aku
di kategorikan sangat cerdas. Guru- guru di sekolahpun sama dibuat
tercengangoleh kecerrdasanku. Aku sengaja melakukannya, menjadi anak pintar dan
penurut, tapi nihil ibu dan ayah tidak ada yang memperhatikan prestasiku.
“Dewi tunggu dulu
disini ya sebentar. Ibu akan mencoba mengajak ayah lagi.”
Aku tahu ibu hanya berbohong, ibu hanya ingin
mengelabuiku. Aku tahu ibu tidak ingin aku sedih karena masalah keluarga ini.
Sebagai seorang bocah berusia 12 tahun aku sudah mengerti artinya pertengkan di
dalam sebuah keluarga. Perceraian, ujung-ujungnya pasti satu kata itu yang akan
menjadi kesimpulan yaitu perceraian.
Ayah dan ibu tampak bertengkar lagi di dapur,
meghiraukanku di meja makan sendirian. Tahun ini hujan datang lebih awal, aku
merasa senang karena hujan adalah salah satu temanku yang paling berharga.
Ketika aku hanya sendiri di rumah, gemercik air hujan yang selalu menemaniku.
Makin hari hubungan ayah dan ibu makin renggang saja.
Setiap hari ayah selalu membawa sekertarisnya itu ke rumah sampai tak terasa 5
tahunpun berlalu dengan cepat. Karena ibu yang memilih untuk mengurusku
dan lebih banyak tinggal di rumah,
bisnisnya menjadi tidak terkendali dan banyak dari perilaku karyawannya yang
membuat ibu sangat kecewa. Perusahaan ibu di ambang kehancuran kali ini. Ayah
yang mengetahui hal ini hanya diam dingin tak menanggapi permasalahan yang ibu
hadapi. Ayah lebih sering membawa sekertaris tidak tahu malunya itu ke rumah
sehingga memambah beban di hati ibu.
Ibu sempat di bawa ke rumah sakit jiwa dan mengalami depresi
berat. Setahun sudah ibu mendekam dirumah para pesakitan ini. Kondisinya mulai
tak stabil dan sering sakit, makanpun tidak mau. Ibu hanya mau makan bila ada
aku dan satu tahun inilah kegiatanku, pulang pergi sekolah-RSJ. Dokter bilang
ibu sudah tidak bisa bertahan lagi, magh kronis pun sudah menyambangi tubuhnya.
Aku sudah bukan bocah berusia 12 tahun lagi sekarang aku adalah seeorang remaja
berusia 18 tahun. Sudah cukup umurku untuk bertanya keputusan ayah selama 6
tahun terakhir ini, memilih ibu atau wanita simpanannya itu.
“ibu? Kumohon buka
mulutmu kita makan bersama hari ini, aku yang akan menyuapi ibu” kataku memohon
“...”
“ibu~ apa ibu ingin
brcerita padaku? Hal baik apa saja yang ibu temukan hari ini?” ucapku sembari
memeluk ibu dari belakang.
Memang harus sedikit sabar untuk menghadapi ibu. Ibu
sudah tidak mendekam di RSJ lagi tapi
di rumah pesakitan yang baru yaitu salah satu rumah sakit umum di Bandung,
rumah sakit Boromeus namanya. Kesannya ibu masih mengalami gangguan jiwa, tapi
sebenarnya ibu sudah sembuh dan bisa melakukan rawat jalan. Tapi tuhan memberi
nasib baiik pada ibu, Tuhan tidak membiarkan ibu melihat kelakuan ayah yang
semakin menjadi-jadi. Tuhan lebih memilihkan tempat yang nyaman ini. Hujan
turun lagi kali ini, ikut membasahi tubuhku yang kurus kering mengahadapi
kehidupan.Hujan ini tak menyurutkan niatku untuk pindah dari rumah. Ayah yang ada
di meja makan hanya menatapku sekilas.
“mau kemana kau?” ayah
berucap. Aku hanya meneruskankegiatanku menggeret koper besar ini keluar.
“DEWI! AYAH TANYA KAU
MAU KEMANA? KAU INI ORANG TUA SEDANG BICARA MALAH PERGI! PERILAKUMU INI TIDAK
SOPAN ” suara ayah meninggi.
“kalau ayah ingin aku
berlaku sopan pada ayah,lihat dulu kelakuan ayah pada ibu. Apa seperti itu
sepantasnya peran seorang kepala rumah tangga? Aku ini sudah bukan anak kecil
lagi ayah. Ku mohon ambilah sebuah keputusan!”
Pikiranku kacau sekali, nada suaraku meninggi saat
berbicara dengan ayah. Aku tahu in tidak benar tapi ayah yang memulai semuanya
lebih dulu. Hujan di luar sanapun semakin deras saja, aku bahkan lupa hanya
untuk sekedar mengambil kunci mobilku yang tertinggal di sebuah nakas kecil
dekat tempat tidurku. Blous tipis yang menggantung di badanku basah kuyup dan
membuatku kedinginan. Di Dago ini hanya ada sebuah halte bis kecil tempat
menunggu bis dan semuanya berlalu begitu saja. Aku mendapat sebuah kabar
menyedihkan dari rumah sakit. Ibu meninggal
dan aku sangat menyesal tidak berada di sisinya untuk yang terakhir
kali.
24 April 2000
Ibu meninggal tepat di hari ulang tahunku yang ke delapan
belas dan lebih menyakitkan lagi ayah sudah bercerai dengan ibu satu tahun yang
lalu, bertepatan saat ibu di pindahkan dari rumah sakit jiwa ke rumah sakit
umum. Ayah bahkan sudah menikah dengan perempuan simpanannya itu lebih dari
satu tahun yang lalu dan itulah yang menambah sakit hatiku pada ayah. Saat
pemakamanpun ayah tak datang dan menyisakan luka yang amat sangat mendalam. Dan
wasiat terakhir ibu adalah menitipkanku pada ayah dan memintaku untuk
membangkitkan perusaan ibu yang sedang pailit. Bahkan di hari itu pun hujan
turun lagi
Sekejap banyangan kematian ibu masih berkelebat hebat di
pikiranku. Hidup terkadang tidak adil, pasti akan ada yang menang dan kalah.
Lusa kami akan pindah dan bertepatan dengan hari kematian ibu. Ayah bahkan tidak
mengijinkanku untuk mengunjungi makam ibu untuk yyang terakhir kali. Hujan
turun lagi, bahkan lebih deras dari yang sebelumnya. Ibu ku mohon maafkan
anakmu yang berdosa ini karena tidak menepati janjiku. Aku janji akan pulang
dan menjenguk ibu suatu saat nanti.
24 April 2010
Aku sampai
di Bali dengan kondisi yang tidak baik.
Mata sembab dan kantung mata yang menebal. Depresi, munkin itu yang biasa di
katakan orang-orang yang mencemoohku. Usiaku sudah menginjak 28 tahun dan aku
memutuskan untuk memulai sebuah usaha kecil-kecilan sama seperti apa yang ibu
kembangkan dari nol. Sebuah percetakan buku di Bali cukup menjanjikan untuk
seorang anak bawang sepertiku.
Aku tinggal di
sebuah desa dekat pantai Kuta jauh dengan ayahku dan Mala. Entah apa kabar
wanita itu sampai sekarang, dari dulu kami memang tidak akrab hanya menyapa
seperlunya saja. Apalagi setelah kami berpisah, aku sudah tidak ingin tahu
apa-apalagi tentangnya.
“bu! Sudah ada seorang
klien yang menunggu ibu di lobby” kata seoang karyawanku, Ketut
“baiklah, tunggu dulu
sebentar aku akan mengecek persediaan kertas yang masih kita punya” ucapku ringan.
Kami adalah bos dan anak buah tapi aku menganggap mereka sebagai teman dan
relawan yang mau membantuku membangun usaha di Bali.
“percetakan ini
barukan?” kata seorang lelaki yang mungkin adalah pelanggan kami.
“benar, kami baru mulai
memproduksi 2 bulan yang lalu” jawabku ramah.
“baiklah aku tahu
kalian profesional, jadi aku akan menitipkan karyaku disini. Banyak orang yang
bilang hasil kerja kalian cepat dan sangat bagus hasilnya” puji lelaki itu
“kalau boleh tahu nama
bapak siapa?”
“tidak usah panggil
bapak, sepertinya kita juga seusia. Ini kartu namaku, aku masih ada urusan jadi
nanti ku hubungi lagi” katanya sambil menyodaorkan sebuah kartu nama.
“Kadek Ari Prameswara,
nama yang indah” tak ku sangka tawaku mengembang.
“orangnya juga tampan
kan bu?” Kadek berkata.
“kau ini mengagetkan
orang saja, cepat lanjutkan pekerjanmu.” candaku padanya. Ia hanya menurut dan
melanjutkan pekerjaanya.
Bisnis
percetakan kami sudah sangat lancar, relasipun makin bertambah karena semakin
banyak orang yang mempercayakan karya mereka pada kami. Omset buanan kami pun
meningkat drastis. Aku dan Kadek pun semakin akrab tak kala para pegawaiku
sering menjodoh-jodohkan kami. Tidak ada rasa canggung di antara kami, kami
menjalaninya dengan bahagia. Hari ini kami akan bertemu dengan ayah dan Mala di
sebuah restoran di Ubud, Bali. Entah perasaan apa tapi aku merasa tidak enak
hati dan meminta Ketut untuk menemaniku pergi. Disepanjang perjalanan kami
hanya terdiam dan meresapi perasaan kami masing-masing. Tak teasa 30 menit berlalu
seperti satu detik, aku tidak tahu apa yang sedang di pikirkan Ketut tapi ia
seperti akan mengungkapkan sesuatu. Detik berikutnya ayah dan Mala datang
menyapa hangat kami dengan senyumannya. Perasanku benar-benar kacau, takut dan
seperti semua orang akan mengadiliku di depan umum. Mala, dia hanya tersenyum
padaku, tak biasanya ia seperti ini.
Restoran ini
mulai terasa riuh dan sesak, tapai kegiatan kami hanya makan di temani
dentingan sendok dan garfu yangsaling beradu. Tiba-tiba Ketut menghentikan aktifitas
makannya dan mulai mengucapkan sesuatu.
“emmm.. paman boleh aku
mengungkapkan sesuatu?” tanyaKetut sakratis
“bertanyalah...” jawab
ayah
“sebenarnya
aku...menyukai putri paman sejak kami bertemu” aku hanya mampu membelalakan
mata tidak percaya akan ucapannya itu.
“kau...” kataku
terpotong oleh ucapan ayah
“persuntinglah, itukan
yang ingin kau sampaikan?”
“paman! Tapi kan paman
belum tahu asal usulku.”
“dia benar ayah! Ayah
belum tahu asal usulnya.”
“ayah tahu dia serius,
itu saja sudah menunjukan betapa ia serius padamu. Jadi jika ayah dan ibumu
pergi kami bisa tenang di sana”
“kenapa ayah berkata
seperti itu. Ayah tidak boleh berkata seperti itu, kenapa ayah dan Mala
seakan-akan ingin pergi hari ini juga?”
“Dewi, bolehkah aku
meminta sesuatu padamu?” setelah lama akhirnya Mala pun berbicara.
“kenapa kau juga
seperti ayah, aku tidak membencimu aku hanya kesal padamu. Apa kau juga ingin
pergi jauh dengan ayahku, hah?! Kau ingin membawa dia pergi juga ?” emosiku
meluap luap.
Ketut menenangkanku, ia memelukku di depan Mala dan ayah.
Mereka yang melihat tersenyum haru seakan mereka sudah menemukan seorang
pengganti bagiku. Malapun mengajukan permohnannya padaku. Ia ingin aku
memanggilnya ibu hanya untuk hari ini. Tanpa pikir panjang aku menyetujuinya. Kami
berempat pergi untuk merencanakan pernikahanku dengan Ketut. Mulai dari
memilihkan gaun dan tempat bulan madu, semua Mala yang menyarankannya. Sudah
lama sejak ibu kandungku meninggal aku belum pernah merasakan rasanya
kebersamaan lagi. Ayah yang baru mengenal Ketut pun tampak akrab, memberi
wejangan-wejangan dan semua hal yang berhubungan denganku. Mala pun sama,
kupikir mereka sama sekali tidak tau bagaimana aku. Di luar dugaan mereka
mengetahui semua yang ku suka dan apa yang tidak ku suka. Senja berganti gelap.
Kami memutuskan makan di restoran saat tadi pagi kami bertemu. Kami duduk
berhadapan saling memandang satu sama lain, tak banyak hidangan yang tersaji
hanya sebuah tart coklat kesukaan ibu –Mala- yang dua hari lalu berulang tahun.
Ditiupnya lilin berbentuk angka 42 itu. Raut wajahnya tampak puas begitupun
dengan ayah. Nampaknya selama ini aku salah menilai mereka. Diluarsuara gaduh
tak kami hiraukan, ibu memberikan suapan pertama untukku dan yang kedua untuk
ayah, lantas Ketut. Diluar dugaan sebuah tembakan melesat di depanku dan
menghantam segelas wine yang ku pegang. Detik selanjutya ibu datang dan
memeluku di dalam tubuh kurusnya. Peluru itu tidak jadi bersarang di tubuhku
malah bersarang di tubuh ibu sampai menembus tulang iganya. Serangan geranat
pun lantas menyusul, berdentum diantara teriakan orang-orang yang paniknya
nyaris sama dengan kepanikanku. Ayah menggenggam tanganku erat, menghantarku
pergi dan masuk lagi menjemput ibu disarang kematian itu. Teror yang tak
berujung membuat banyak nyawa melayang.
Bom Bali, itulah teror yang melanda Bali satu minggu yang
lalu. Banyak yang terbunuh. Teroris-teroris itu meghancurkan hariku yang baru,
hidup sebagai anak yang mendapat perhatian lebih kini lenyap. Nisan itu
bertuliskan tiga nama orang yang sangat
kucintai, Rindu Dwi Ayu (24-04-2000), Mark Susanto (24-08-2012), dan
Mala Kadita (24-08-2012). Di depan ketiga pusara itu aku berjanji akan kembali
dengan bahagia. Hidup dengan Ketut dan kembali sebagai Dewi Andini yang baru.
Hujan turun lagi menemani langkahku bersama Ketut.